TEAETRIKAL PUISI ISLAM MULTIMEDIA
Setelah mewujudkan impian mementaskan pertunjukan puisi dalam bentuk baru, total dan Spektakuler : Konser Puisi Multimedia Asrizal, Desember 2010. Asrizal Nur mulai memperkenalkan pembacaan puisi multimedia tersebut keberbagai tempat dalam dan luar negeri, semisal dalam Temu Sastra Indonnesia di Jambi (2008),Temu Sastra Indonesia III di Tanjungpinang (2010) dan Pertemuan Penyair Nusantara IV Di Brunei(2010).
Lantas, Brunei Darusslam terinspirasi dengan bentuk pertunjukan tersebut sebagai upaya membawa perubahan tradisi baca puisi yang cendrung monoton, tidak menarik yang mengakibatkan kurangnya minat generasi muda terhadap puisi. Kemuidian Asrizal di undang untuk memberikan pelatihan pada : Bengkel pelestarian Budaya Melayu Brunei pada 29 Nopemeber - 2 Desember 2010, lalu dengan waktu yang sangat singkat hasil binaan Asrizal Nur tersebut di pentaskan di Radio Televisi Brunei 8 Desember 2010.
Animo masyrakat sastra dan generasi muda terhadap bengkel puisi tersebut sangat besar dan diluar perkiraan, Tadinya Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam hanya membuka kesempatan untuk 50 orang peserta meledak hingga hampir 200 orang.
Dengan kemampuan melatih yang cepat dan kerjasama yang baik dari peserta akhirnya pementasan bertajuk Teaterikal Puisi Islam Multimedia dapat dipentaskan dengan memukau dan dipenuhi sesaak oleh penonton.
Akhirnya karya pentas Asrizal Nur dan didukung Eeng Koty Koreagrafer Indonesia, mendapat sambutan baik oleh Menteri Kebudayaan dan Sukan Kerajaan Brunei Darusslam serta Dewan Bahasa dan Pustaka, agar diteruskan dengan pelatihan rutin serta membuka peluang untuk generasi muda Brunei. Untuk itu Dewan Bahasa dan Pustaka membuka semacam sanggar kesenian, diberi nama CLUB SENI Dewan Bahasa dan Pustaka dengan pelatih atau pembina tetap Asrizal Nur.
Kamis, 16 Desember 2010
Minggu, 21 November 2010
SAJAK-SAJAK ASRIZAL NUR
PUISI
Siapa
tak :
lihat
dengar
baca
akulah : mata, telinga, suara, tanda
sebab :
parau angin
kau tak sampai resahnya
rintih cicit burung
kau tak tangkap lukanya
marah alam
kau tak jera amuknya
maka:
lihat,
dengar
bacalah!
temukan raib hati
kau
Sei Ladi, Tanjungpinang 21Oktober 2009
MAJELIS ZIKIR DEDAUNAN
Pada mulanya
rimba raya sajadah doa
majelis zikir dedaunan
daun rayu ranting berzikir
ranting berzikir
ranting bujuk dahan berzikir
dahan berzikir
dahan panggil pohon berzikir
pohon berzikir
pohon bawa rimba berzikir
rimba berzikir
pohon ajak penebang berzikir
penebang mungkir
tebas
bakar
libas
majelis zikir daunan
jadi padang api
ranggas
kering doa
munazat rimba ditebas penebang
enggan tanam
tak tumbuhkan doa
alam murka
tak kuasa tolak bala nestapa
ketika bencana tiba, ranting kering berkata:
“maaf! kami tak lagi mampu merayu Tuhan
lantaran doa kami terbakar bersama abu daunan”
Bogor, September 2009
GERGAJILAH DIRI
Pilu rimba ranggas
merindu penanam
pada penebang
mati harapan
penanam
semailah
hari
ku
penebang
gergajilah
diri
kau
Bogor, Oktober 2009
PINTU
Di pintu
ada sepatu
tapaknya berdarah
bernanah
tak ada penjaga ramah
cuma pemintaminta
tak ada penawar bunga
hanya penjaja duka
pintu
tak lagi mudah diketuk
bila diketuk
dia mengetuk
bila ditanya
dia bertanya
bila diharap
dia mengharap
bila kau sedih
kau yang diperih
bila kau masuk
kau diluar
kemana pintu
tempat masuk itu?
tinggal jejak
berdarah
bernanah
Depok, September 2009
BELAJAR DENGAN BAHASA DAUN
Mengapa menara yang kita dirikan
bila kaki terhimpit pilarnya
kenapa bukan bangun kincir
sehingga riak telaga jadi samudra
kita terlanjur suka gemerlap neon ria
sedang kabelnya dibiarkan konslet di gudang jiwa
kota kota adalah gugusan bintang
kita ciptakan dari hati yang kelam
belajarlah dengan bahasa daun
saat hening
bersahabat dengan :
angin, kerikil telaga
burungpun bernyanyi
embun senggayut di rerantingan
belajarlah dengan bahasa daun
bila gugur
tercipta kehidupan baru
Pekanbaru, 1996
PESAN
( Jalaluddin, Putri, Salma)
Anakku
jadilah karang
badai cuma tabiat ombak
datang dan pergi, biasa
riaknya lumat lumut
diusir tajam karang
bila kau buih
badai adalah sunami
hempas murka samudra
sangkut di akar lapuk
hanyut di perut laut
liang ditelan dalam
perahu waktu tak mampu bawamu berlabuh
bila kau karang
badai asuh kau
menjinak laut
Tanjungpinang, 2008
NEGERI BATU
Dinegeri batu :
petani keteduhan
diusir dari ladang nurani
yang tumbuh hanya batu
tak paham bahasa bunga
di negeri batu:
orang-orang berhati batu
tak punya telaga tempat bercermin
hanya berkaca pada bayang
keliru terjemaahkan kelam
siapa yang paling batu jadi tuhan
penyembah mencipta berhala
menyusun kitab batu
tak ada kabar hidup sesudah mati
hanya ayat kekuasaan batu
di negeri batu :
orang orang batu
telah bunuh diri
hingga akhirnya tak punya negeri
Depok, 16 Nopember 2004
MATAHARI HATI
Ketika zaman musim kelam
orang –orang bungkus hati
dengan selimut buram
pada musim ini
jalan bersimpang kelam
selalu jebak tapak sama
musim gelap
uji besar cahaya hati
bila redup, gelap tipu pandang
selamatkan hati
nyalakan jadi matahari
tuntun ragam musim
matahari hati pembeda
mana terang
mana kelam
Jakarta, Agustus 2005
Siapa
tak :
lihat
dengar
baca
akulah : mata, telinga, suara, tanda
sebab :
parau angin
kau tak sampai resahnya
rintih cicit burung
kau tak tangkap lukanya
marah alam
kau tak jera amuknya
maka:
lihat,
dengar
bacalah!
temukan raib hati
kau
Sei Ladi, Tanjungpinang 21Oktober 2009
MAJELIS ZIKIR DEDAUNAN
Pada mulanya
rimba raya sajadah doa
majelis zikir dedaunan
daun rayu ranting berzikir
ranting berzikir
ranting bujuk dahan berzikir
dahan berzikir
dahan panggil pohon berzikir
pohon berzikir
pohon bawa rimba berzikir
rimba berzikir
pohon ajak penebang berzikir
penebang mungkir
tebas
bakar
libas
majelis zikir daunan
jadi padang api
ranggas
kering doa
munazat rimba ditebas penebang
enggan tanam
tak tumbuhkan doa
alam murka
tak kuasa tolak bala nestapa
ketika bencana tiba, ranting kering berkata:
“maaf! kami tak lagi mampu merayu Tuhan
lantaran doa kami terbakar bersama abu daunan”
Bogor, September 2009
GERGAJILAH DIRI
Pilu rimba ranggas
merindu penanam
pada penebang
mati harapan
penanam
semailah
hari
ku
penebang
gergajilah
diri
kau
Bogor, Oktober 2009
PINTU
Di pintu
ada sepatu
tapaknya berdarah
bernanah
tak ada penjaga ramah
cuma pemintaminta
tak ada penawar bunga
hanya penjaja duka
pintu
tak lagi mudah diketuk
bila diketuk
dia mengetuk
bila ditanya
dia bertanya
bila diharap
dia mengharap
bila kau sedih
kau yang diperih
bila kau masuk
kau diluar
kemana pintu
tempat masuk itu?
tinggal jejak
berdarah
bernanah
Depok, September 2009
BELAJAR DENGAN BAHASA DAUN
Mengapa menara yang kita dirikan
bila kaki terhimpit pilarnya
kenapa bukan bangun kincir
sehingga riak telaga jadi samudra
kita terlanjur suka gemerlap neon ria
sedang kabelnya dibiarkan konslet di gudang jiwa
kota kota adalah gugusan bintang
kita ciptakan dari hati yang kelam
belajarlah dengan bahasa daun
saat hening
bersahabat dengan :
angin, kerikil telaga
burungpun bernyanyi
embun senggayut di rerantingan
belajarlah dengan bahasa daun
bila gugur
tercipta kehidupan baru
Pekanbaru, 1996
PESAN
( Jalaluddin, Putri, Salma)
Anakku
jadilah karang
badai cuma tabiat ombak
datang dan pergi, biasa
riaknya lumat lumut
diusir tajam karang
bila kau buih
badai adalah sunami
hempas murka samudra
sangkut di akar lapuk
hanyut di perut laut
liang ditelan dalam
perahu waktu tak mampu bawamu berlabuh
bila kau karang
badai asuh kau
menjinak laut
Tanjungpinang, 2008
NEGERI BATU
Dinegeri batu :
petani keteduhan
diusir dari ladang nurani
yang tumbuh hanya batu
tak paham bahasa bunga
di negeri batu:
orang-orang berhati batu
tak punya telaga tempat bercermin
hanya berkaca pada bayang
keliru terjemaahkan kelam
siapa yang paling batu jadi tuhan
penyembah mencipta berhala
menyusun kitab batu
tak ada kabar hidup sesudah mati
hanya ayat kekuasaan batu
di negeri batu :
orang orang batu
telah bunuh diri
hingga akhirnya tak punya negeri
Depok, 16 Nopember 2004
MATAHARI HATI
Ketika zaman musim kelam
orang –orang bungkus hati
dengan selimut buram
pada musim ini
jalan bersimpang kelam
selalu jebak tapak sama
musim gelap
uji besar cahaya hati
bila redup, gelap tipu pandang
selamatkan hati
nyalakan jadi matahari
tuntun ragam musim
matahari hati pembeda
mana terang
mana kelam
Jakarta, Agustus 2005
Langganan:
Postingan (Atom)